Oleh: Benyamin Lagowan
Waspira News || Lembah Baliem Wamena — Dulu di tahun 1980 an dan jauh sebelumnya, konflik perang suku (tribal war) merupakan suatu konflik antar aliansi masyarakat karena ada keterkaitan dengan filosofi hidup. Perang menjadi suatu ‘kewajiban rutinan’ sebagai akibat siklus kehidupan yang tidak menentu. Mencari dan mengambil roh pihak lawan, mengalahkan kekuatan musuh dll adalah bagian integral dari praktik religi tradisional di Baliem. Perang suku di jadikan sebagai ajang membuka dan mendamaikan kemalangan hidup tiap suku di Lembah Baliem.
POLITISASI ‘PERANG SUKU’ DI LEMBAH BALIEM-WAMENA
Sifat perang antar aliansi tepatnya-pada zaman itu terjadi secara serentak, kadang, terencana melibatkan semua anggota klen yang terlibat. Dengan siap menerima seluruh dampak atau akibatnya. Bisa di katakan sebagai perang holistik antar dua atau lebih aliansi yang terlibat. Perang mati hidup tiap aliansi karena tiap aliansi yang kalah akan mengungsi atau di taklukan. Harta benda di ambil, rumah di jarah dan dibakar, para wanita di ambil bersama anak-anak ikut atau kadang turut jadi korban.
Jadi dalam berbagai studi literatur yang membahas tentang perang suku di Baliem terjadi tidak hanya bermuatan politik semata. Ada di mensi religi tradisional yang turut ikut berperan memicu terjadinya konflik tersebut. Terutama soal kehidupan kolektif masyarakat suatu aliansi yang mana mengalami musibah terus menerus dan hidup dalam derita dan kemalangan.
Program Pasifikasi
Namun motif konflik perang antar aliansi yang demikian sepenuhnya berakhir pasca masuknya pihak hingga Indonesia. Tradisi perang suku akhirnya di larang dizaman Belanda melalui program Pasifikasi. Keberhasilan pemerintah Belanda menghentikan konflik antar suku dan memulai hidup dalam ajaran injil Yesus Kristus secara perlahan berhasil menarik hati hampir semua aliansi di Lembah Baliem Wamena.
Masyarakat pribumi. Baliem yang memeluk agama Kristen, Islam, Katolik dll akhirnya tidak berperang lagi melainkan hidup dalam persekutuan antar umat yang rukun dan damai meski acapkali meletus konflik kecil yang di picu hal-hal kriminal murni. Sebagaimana kita lihat saat ini, konflik perang suku hari ini telah bergeser dari motif utama seperti dulu. Ada perubahan signifikan dari motif perang suku hari ini. Intrik politik dan ekonomi hampir selalu mendasari terjadi konflik pasca hadirnya pemerintah dan pihak Misi.
Di era
Belanda bila terjadi konflik antar suku lagi, maka dua suku yang saling terlibat di berikan hukuman tegas. Bahkan bila mengorbankan staf pemerintah atau misionaris aliansi yang duluan lakukan penyerangan di hukum dengan penyitaan babi, di tangkap bahkan ikut di berikan ganjaran agar ada efek jera. Setelah itu anggota aliansi tersebut di ajak bertobat ke jalan Tuhan dengan mengajak persuasif para kepala suku dan seluruh anggota klan konfederasinya (ap kaintek/big man).
Di hari ini motif konflik perang suku telah berubah jauh dari filosofi para tetua dahulu. Hari ini perang suku banyak terjadi karena kasus kriminalitas murni atau kepentingan politik elit atau by desain pihak eksternal. Misalnya penganiayaan, lakalantas, pencurian, pemalakan, yang semuanya bila di amati murni kasus kriminal yang harusnya dapat di tangani langsung dengan penindakan hukum positif. Insiden kecil2 yang di latari minuman keras menjadi trigger jadinya konflik yang melibatkan aliansi. Mengorbankan banyak hal. Padahal murni kasus kriminal yang mana sesuai hukum yang berlaku harusnya oknum/ individu yang di tindak.
Kondisi rendahnya supremasi hukum atas individu di Baliem yang menjadi terduga pelaku maupun korban mengesankan kehadiran negara dan perangkat hukumnya abai/gagal terlaksana secara maksimal. Sebagai negara hukum (reschtaat) semua elemen masyarakat Indonesia mestinya tak kebal hukum. Berlaku tanpa pandang bulu dan tanpa melibatkan berbagai unsur SARA dalam penegakannya. Apa yang terjadi di Wamena kecuali memang di sengaja di biarkan tanpa intervensi hukum positif.
Kepentingan Oknum Elit
Kembali kepada topik. Bahwa kondisi rendahnya penegakan hukum dalam kasus-kasus kriminal menyebabkan tradisi perang suku mulai di plintir menjadi konflik antar warga demi menggolkan kepentingan oknum elit tertentu. Bukan lagi kepentingan kolektif hidup masyarakat satu aliansi seperti dahulu. Misalnya konflik perang suku akibat gagal nyaleg, nyabup, nyagub dan kepentingan politik praktis lainnya.
Semua itu menandaskan bahwa kohesi sosial masyarakat Lembah Baliem di dalam solidaritas kehidupan berbangsa dan bernegara belum terlalu baik. Meski di sisi lain ada kesan pembiaran oleh institusi keamanan negara, di sisi lain menyebabkan negara terkesan gagal hadir di tengah masyarakat memberikan keamanan dan kenyamanan hidup. Negara juga terlihat tidak berdaya menghadapi kekuatan suku atau aliansi yang di Wamena. Ya, meskipun negara patut diduga turut menjalankan misi khusus tertentu pada masyarakat Lembah Baliem dan sekitarnya dengan membiarkan lestarinya habitus konflik antar aliansi tsb.
Dengan demikian, sudah saatnya negara mengambil langkah dan posisi tegas dalam menghadapi berbagai konflik antar aliansi atau masyarakat di Wamena. Negara harus melihat tiap elemen masyarakat Wamena sebagaimana masyarakat Jawa dan Nusantara yang multietnis untuk di lindungi dan di jamin hak-hak konstitusional keamanan pribadinya.
Kultur politisasi
Perang suku yang mulai di lakukan pasca masuknya pemerintahan Indonesia untuk menggolkan kepentingan elit politik, kepentingan agenda kenegaraan, hingga akibat kasus-kasus kriminal harusnya di cegah dan hindari. Mulai dari pengetatan dan pelarangan membawa alat tajam di tiap kab se Provinsi Papua Pegunungan dan juga pelaksanaan sweeping rutinan’ demi menciptakan kota-kota yang DANI : Damai, Aman, Nyaman dan Indah di Papua Pegunungan.
Adalah naif bila negara sebesar republik ini gagal menegakkan hukum nasionalnya kepada oknum-oknum elit lokal yang kerap melumuri tangan dan dahi mereka dengan menjadikan perang suku sebagai tameng atau ajang unjuk jago dan keberadaannya melalui meterai darah rakyat kecil polos tak berkepentingan. Sudah saatnya elit-elit tiap klen, aliansi, dan suku di Papua menghentikan mengobjekkan masyarakat untuk mempertahankan status Kuo, kekuasaan dan popularitas pribadi dan golongan. Sebab orang Papua secara kuantitas semakin hari sudah semakin sedikit dan minoritas.
(Benyamin lagowan, Waena, 22 Juni 2024)
RedWN
Leave feedback about this